Selamat Datang Di Blog Saya Semoga Bermanfaat

Rabu, 26 November 2014

SISTEM TANAM PAKSA DAN DAMPAKNYA TERHADAP MASYARAKAT PEDESAAN


Oleh : Guntur Arie Wibowo*
Abstrak
           Peristiwa naiknya Gubernur Jenderal van den Bosch pada tanggal 16 Januari 1830 menggantikan Gubernur Jenderal van der Capellen menandai kebangkitan kekuasaan kaum konservatif di Parlemen Belanda. Pada pemerintahan baru ini, van den Bosch menerapkan aturan yang disebut dengan Cultuurstelsel (Cultivation System) yang berarti sistem tanam paksa yang mewajibkan setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya untuk ditanami tanaman komoditi ekspor. Hal ini dilakukan dengan tujuan memperoleh pendapatan sebanyak-banyaknya dalam waktu yang relatif singkat. Sistem tanam paksa ini merupakan era paling eksploitatif dalam pemerintahan Hindia Belanda dimana sistem ini lebih keras dan kejam karena dalam prakteknya banyak sekali penyimpangan yang justru dilakukan oleh penguasa lokal akibat adanya Cultuur Procenten.
       Sistem Tanam Paksa yang memaksa rakyat menanam tanaman tertentu sekaligus menjualnya dengan herga yang ditetapkan pemerintah Belanda ternyata menjadi aset penting karena mampu mencukupi dan menciptakan kemakmuran negeri Belanda, bahkan Bosch mendapat gelar Graaf dari pemerintahannya atas keberhasilannya di tahun 1839. Namun disisi lain hal ini mengakibatkan rakyat banyak yang menderita dan sengsara. Akhirnya pemerintah Belanda bereaksi dengan munculnya pertentangan antara golongan liberal dan humanis dan di tahun 1870 secara resmi sistem tanam paksa dihapus dengan munculnya Undang-Undang Land Reform (Agraria). Walaupun pada dasarnya sistem tanam paksa sangat menyengsarakan rakyat, ternyata memiliki hal positif diantaranya terbukanya lapangan pekerjaan, mengenal tanaman baru dan teknik penanamannya.
Kata Kunci: Cultuurstelsel, Hindia Belanda, Tanam Paksa,
Pendahuluan
Pada tahun 1830 Gubernur Belanda Jendral Van den Bosch memperkenalkan Cultuurstelsel atau sistem tanam paksa, karena menurutnya akan memberi harapan yang lebih baik untuk negeri induk. Sistem tanam paksa yang diusulkan Van den Bosch merupakan gabungan antara sistem Priyangan dan sistem pajak tanah. Hakikat dari Cultuurstelsel adalah bahwa penduduk, sebagai ganti membayar pajak tanah sekaligus harus menyediakan hasil bumi yang nilainya sama dengan sejumlah tanah itu yang berupa hasil bumi untuk diekspor seperti yang diinginkan oleh pemerintah.
Ketentuan pelaksanaan tanam paksa dimuat dalam Lembaran Negara tahun 1834 No. 22. Dalam ketentuan tersebut dinyatakan bahwa penyerahan tanah atas dasar persetujuan penduduk, dengan pembebasan pajak bumi pada bagian tanah yang terkena tanam wajib. Apabila nilai hasilnya melebihi nilai pajak bumi maka kelebihannya diberikan kepada rakyat, tetapi apabila nilainya lebih rendah, rakyat tidak menerima apapun. Kegagalan panen yang terbukti bukan karena kelalaian rakyat menjadi resiko pemerintah.
          Dalam prakteknya sistem tanam paksa ini sering tidak sesuai dengan ketentuan. Banyak penyimpangan yang terjadi di lapangan misalnya penyediaan tanah yang menurut ketentuan adalah dengan persetujuan, namun dalam prakteknya adalah paksaan. Tanah yang diharuskan untuk ditanami tanaman wajib sering melebihi seperlima bagian, demikian pula pengerahan tenaga kerja yang seharusnya 52 hari dalam setahun, tetapi kenyataannya lebih dari itu. Sementara itu, bagian upah yang seharusnya diterima bagian penduduk seringkali tidak sampai kepada penduduk. Penyebab penyimpangan tersebut adalah adanya pemberian Cultuurprocenten yaitu pemberian premi kepada petugas apabila hasil yang dicapai melebihi target produksi yang telah ditentukan pada setiap desa. Pemberian premi yang dimaksudkan agar para petugas itu bekerja dengan baik, ternyata telah disalahgunakan demi mengejar premi yang sebanyak-banyaknya (Mubyarto dkk, 1992: 33-34).
Pengertian Cultuurstelsel
Cultuurstelsel merupakan pembangunan ekonomi yang dilaksanakan oleh pihak Belanda antara tahun 1830 hingga pertengahan abad ke-19. Sistem tanam paksa yang diterapkan pada zaman itu pada dasarnya adalah suatu penghidupan kembali sistem eksploitasi dari zaman VOC yang berupa pengerahan wajib dan sistem pajak tanah. Oleh karena itu ciri pokok tanam paksa terletak pada keharusan untuk membayar pajak dalam bentuk barang, yaitu berupa hasil pertanian mereka, bukan dalam bentuk uang (Noer Fauzi, 1999 : 29).
Menurut G. Moedjanto (1988: 17-18), Cultuurstelsel adalah istilah resmi pengganti cara produksi yang tradisional dengan cara produksi yang rasional. Tanam paksa adalah usaha pemerintah yang dalam pelaksanaannya menggunakan cara-cara paksa. Cultuurstelsel adalah sistem eksploitasi yang ditandai dengan :
  1. Cultuurstelsel merupakan kegiatan negara di bidang ekonomi
  2. Pemerintah Belanda dengan alat-alatnya ikut campur dalam masalah produksi
  3. Aktif mengurus kegiatan sampai ke pedalaman
  4. Penggunaan uang sebagai alat tukar makin merata sampai ke pelosok
Menurut ketentuan Lembaran Negara (Staatsblad) tahun 1834 No. 22 ketentuan pelaksanaan sistem tanam paksa adalah sebagai berikut :
  1. Persetujuan akan diadakan dengan penduduk di mana penduduk akan menyediakan sebagian dari tanahnya untuk penanaman tanaman perdagangan yang dapat dijual di pasaran Eropa.
  2. Bagian dari tanah pertanian yang disediakan penduduk untuk tujuan ini tidak diperbolehkan melebihi seperlima dari tanah pertanian yang dimiliki oleh penduduk desa
  3. Pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman perdagangan tidak boleh melebihi pekerjaan yang diperlukan untuk menanam padi.
  4. Bagian tanah yang disediakan untuk menanam tanaman perdagangan dibebaskan dari pembayaran pajak tanah
  5. Tanaman perdagangan yang dihasilkan di tanah yang disediakan wajib diserahkan kepada pemerintah Hindia Belanda; jika nilai hasil tanaman perdagangan yang ditaksir itu melebihi pajak tanah yang harus dibayar rakyat, maka selisih positifnya harus diserahkan kepada rakyat.
  6. Panen tanaman perdagangan yang gagal harus dibebankan kepada pemerintah, sedikitnya jika kegagalan itu tidak disebabkan oleh kelalaian rakyat.
  7. Penduduk desa akan mengerjakan tanah di bawah pengwasan kepala-kepala, sedangkan pegawai-pegawai Eropa hanya akan membatasi diri pada pengawasan pembajakan tanah, panen, dan pengangkutan tanaman agar bisa berjalan dengan baik dan tepat pada waktunya (Noer Fauzi, 1999: 320).
         Ketentuan-ketentuan di atas memang kelihatannya tidak terlampau menekan rakyat walaupun pada prinsipnya orang dapat mengajukan keberatan mengenai unsur paksaan yang terdapat dalam sistem tanam paksa seringkali jauh menyimpang dari ketentuan pokok, sehingga rakyat banyak dirugikan.
Penyelewengan dalam pelaksanaan tanam paksa mengakibatkan kemerosotan sosial ekonomi penduduk. Melihat keadaan ini golongan liberal menentang kebijaksanaan politik golongan konservatif yang sangat menyengsarakan rakyat.
Latar Belakang Pelaksanaan Sistem Tanam Paksa.
1. Perkembangan Politik
         Akibat perang Napoleon hutang dalam negeri Belanda dan pembayaran bunga atas hutangnya itu membumbung tinggi. Keadaan makin buruk ketika Uni Belanda-Belgia yang dibentuk oleh hasil Kongres Wina pada tahun 1815 runtuh dalam revolusi Belgia pada tahun 1830. Usaha Belanda untuk menaklukan kembali Belgia pada tahun 1831-1832 menemui kegagalan, dan pada tahun 1839 Belanda mengakui kemerdekaan Belgia. Dengan demikian Belanda telah kehilangan sebagian dari wilayah negaranya.
         Selama perang Jawa berlangsung, pihak Belanda memikirkan berbagai rencana untuk Jawa. Semuanya mempunyai sasaran umum yaitu bagaimana dapat memperoleh hasil daerah tropis dalam jumlah dan harga yang tepat, sehingga akan diperoleh keuntungan. Pada tahun 1829 Van den Bosch menyampaikan usulan-usulan kepada raja Belanda yang kelak akan disebut Cultuurstelsel. Raja menyetujui usulan-usulan tersebut, dan pada bulan Januari 1830 Van den Bosch tiba di Jawa sebagai gubernur jenderal yang baru.
      Pemikiran Van den Bosch mengenai Cultuurstelsel tersebut tidak pernah dirumuskan secara eksplisit, tetapi tampaknya sistem itu didasarkan pada suatu prinsip umum yang sederhana. Desa-desa di Jawa menghutang pajak tanah (land-rent) kepada pemerintah, yang biasanya diperhitungkan sebesar 40 % dari hasil panen utama desa itu (beras). Dalam kenyataannya, taksiran yang sesungguhnya seringkali di bawah angka ini dan pemungutan pajak tersebut seringkali sulit dilaksanakan karena tidak cukup tersedianya sumber-sumber daya administrasi (Ricklefs, 1989: 183).
           Sistem tanam paksa pada dasarnya merupakan penyatuan antara sistem penyerahan wajib dan sistem pajak tanah. Pajak yang dibayarkan oleh rakyat bukan dalam bentuk uang, tetapi berupa hasil tanaman pertanian. Dengan demikian pemerintah dapat mengumpulkan produksi tanaman ekspor yang diperlukan dan kemudian dipasarkan di pasaran dunia (Mubyarto dkk, 1992: 20).
        Jenis tanaman yang terkena sistem tanam paksa terutama adalah kopi, tebu, dan nila (indigo). Sedangkan tanaman lain yaitu tembakau, lada, teh, dan kayu manis ditanam dalam skala kecil. Komoditi tersebut ditanam pada 1/5 bagian tanah penduduk, kecuali kopi yang ditanam di tanah-tanah yang belum digarap. Wilayah tanam paksa terutama di Jawa, khususnya di daerah gubernemen, dengan pengecualian daerah Batavia, Bogor, daerah tanah partikelir dan daerah Vorstenlanden. Di daerah Vorstenlanden ada aturan khusus yaitu dengan sistem sewa (Sartono K dan Djoko Suryo, 1991: 57).
2. Pelaksanaan Sistem Tanam Paksa
Sistem tanam paksa ini memuat ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah Belanda. Aturan-aturan tersebut dalam pelaksanaannya jauh menyimpang dari ketentuan sehingga mengakibatkan penderitaan bagi masyarakat Jawa pada khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Pokok-pokok sistem tanam paksa menurut Indisch Staatsblad No. 22 tahun 1834 adalah sebagai berikut :
  1. Akan diadakan perjanjian-perjanjian dengan rakyat, di mana rakyat akan menyerahkan sebagian dari tanah pertaniannya (sawah) untuk ditanami tanaman yang hasilnya nanti cocok bagi pasaran di Eropa.
  2. Tanah yang diserahkan itu adalah seperlima dari luas tanah pertanian suatu desa.
  3. Waktu yang dibutuhkan untuk tanaman tersebut sampai memberi hasil tidak boleh lama daripada penanaman padi.
  4. Tanah yang diserahkan itu, bebas dari pajak tanah.
  5. Hasil semua tanaman tadi harus diserahkan kepada pemerintah, jika ternyata hasil taksiran dari hasil tanaman itu, lebih tinggi dari jumlah yang dibayar pemerintah maka selisihnya akan dikembalikan kepada rakyat.
  6. Kalau ada gangguan alam hingga panen menjadi rusak, maka kerugian ditanggung oleh pemerintah.
  7. Rakyat bekerja di bawah pengawasan para kepala, pengawasan oleh para pegawai Eropa hanya terbatas pada kontrol terhadap pekerjaan panen dan transpor agar di jalankan pada waktu dengan baik.
  8. Dalam beberapa hal umpamanya mengenai gula, maka pekerjaan dapat dibagi sedemikian rupa sehingga sebagian dari rakyat dapat mengerjakan penanaman sampai masak, sebagian hanya memanen, sebagian lagi mengurus pengangkutan sampai pabrik dan selebihnya bekerja di pabrik. Tetapi yang terakhir ini hanya dikerjakan kalau memang kekurangan tenaga kuli bebas.
  9. Dalam hal dimana Cultuurstelsel mengalami kesulitan dalam pelaksanaan, harus tetap berpegang pada pembebasan pajak tanah dan sebagai patokan bahwa petani telah menjalankan tugasnya jika dia telah memelihara tanaman sampai dapat dipanen. Panenan dan pengerjaan hasil-hasil tersebut harus dijalankan dengan perjanjian baru atau cara-cara yang ditetapkan sebelumnya (Sartono K dan Djoko Suryo, 1991: 56).
         Sistem tanam paksa jika dilaksanakan sesuai dengan ketentuannya, sebenarnya tidak terlalu merugikan rakyat, tetapi dalam prakteknya semua ketentuan-ketentuan itu dilanggar dan diselewengkan oleh pelaksana-pelaksananya. Penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan oleh pemerintah dalam sistem tanam paksa terhadap rakyat adalah :
  1. Menurut ketentuan pemakaian sebagian tanah rakyat harus atas dasar kerelaan tanpa unsur paksaan atau unsur ketakutan. Dalam pelaksanaannya didasarkan atas unsur paksaan di mana pemerintah menyalahgunakan kekuasaan tradisional dari para bupati dan kepala desa. Pegawai pemerintah kolonial cenderung memperlakukan desa dengan tenaga beserta tanahnya secara keseluruhan untuk mempermudah pekerjaan pegawai pemerintah Belanda. Pegawai pemerintah kolonial tidak mengadakan persetujuan secara terpisah dengan para petani tetapi hanya menetapkan target yang harus dicapai masing-masing desa.
  2. Bagian yang ditanami untuk tanaman paksa melebihi 1/5 bahkan sering mencapai separuh atau lebih, kadang-kadang seluruh tanah desa itu atau luas tanah yang diusahakan untuk pemerintah tidak ada batasnya. Meskipun tanah yang dipakai sering melebihi 1/5 namun secara keseluruhan, seluruh jumlah yang disediakan untuk tanam paksa meliputi 5 % dari seluruh tanah pertanian. Banyak tenaga kerja yang dikerahkan untuk penanaman paksa di bidang-bidang tanah yang relatif terbatas.
  3. Pada umumnya petani dipaksa bekerja jauh lebih lama daripada waktu untuk mengurus tanaman petani sendiri. Tekanan atas rakyat berbeda dari satu tempat ke tempat lain dan dari tanaman satu ke tanaman yang lain. Budidaya tanaman produksi (tebu dan nila) membutuhkan waktu 18 bulan sehingga tidak ada kesempatan untuk menanam padi.
  4. Tanah yang dipakai untuk tanaman paksa memang bebas dari pajak, namun petani harus menanggung dua macam beban yaitu menanam tanaman ekspor dan membayar pajak tanah. Penerimaan pemerintah dari pajak tanah terus meningkat. Ini disebabkan tanah yang dipakai untuk tanam paksa secara keseluruhan relatif sedikit, tenaga yang dikerahkan banyak. Dan petani masih ditarik pajak secara intensif.
  5. Selisih antara pajak yang harus dibayar dengan nilai yang ditaksir dari hasil yang diserahkan, menurut peraturan harus dibayarkan kepada rakyat, akan tetapi dalam kenyataannya hanya sedikit sekali yang dibayarkan. Rakyat sama sekali tidak memperoleh keuntungan dari ketentuan tentang penyerahan selisih positif antara nilai tanaman ekspor dan pajak tanah kepada rakyat. Kelemahan ketentuan ini terletak dalam kata-kata ”nilai yang ditaksir”. Taksiran nilai tanaman dagangan yang dihasilkan rakyat dilakukan oleh pegawai pemerintah kolonial, sehingga tafsirannya jauh di bawah nilai tukar dalam pasaran bebas.
  6. Kegagalan panen ditanggung oleh petani sendiri, rakyat melakukan pekerjaan rodi baik untuk pemerintah kolonial maupun untuk kepentingan-kepentingan rakyat sendiri (Mulyoto, 1999: 9).
Dampak Sistem Tanam Paksa Terhadap Masyarakat Pedesaan.
1. Tanah dan Tenaga Kerja
            Pelaksanaan sistem tanam paksa telah mempengaruhi dua unsur pokok kehidupan agraris pedesaan Jawa, yaitu tanah dan tenaga kerja. Sistem tanam paksa pertama-tama mencampuri sistem pemilikan tanah penduduk pedesaan, karena para petani diharuskan menyerahkan tanahnya untuk penanaman tanaman ekspor. Tuntutan akan kebutuhan tanah pertanian untuk penanaman tanaman ekspor yang dilakukan dengan ikatan desa telah mempengaruhi pergeseran sistem pemilikan dan penguasaan tanah. Ini terjadi karena berbagai hal, baik karena adanya pertukaran atau pembagian tanah-tanah pertanian untuk pemerataan pembagian kewajiban menyediakan tanah dan kerja kepada pemerintah, maupun karena kecenderungan perusahaan pemilikan tanah perseorangan menjadi tanah komunal desa.
            Selain tanah, sistem tanam paksa membutuhkan pengerahan tenaga kerja rakyat secara besar-besaran untuk penggarapan lahan, penanaman, pemanenan, pengangkutan dan pengolahan di pusat-pusat pengelolaan atau pabrik. Pengerahan tenaga kerja yang dibutuhkan itu dilakukan dengan menggunakan ikatan organisasi desa. Oleh karena itu, sistem tanam paksa menyentuh unsur tenaga kerja dari kehidupan masyarakat agraris pedesaan Jawa. Dalam prakteknya, semua kerja yang dibutuhkan dilakukan dengan sistem kerja paksa (Sartono K dan Djoko Suryo, 1991: 67).
2. Politik Ekonomi Uang
            Pelaksanaan sistem tanam paksa juga besar artinya dalam mengenalkan ekonomi uang ke dalam lingkungan kehidupan pedesaan agraris. Kehidupan perekonomian desa yang semula masih tradisional dan subsisten, secara berangsur-angsur berkenalan dengan ekonomi uang, yakni melalui proses komersialisasi produksi pertanian dan pasaran kerja. Pengenalan penanaman tanaman ekspor dan penyerapan tenaga kerja bebas yang berlangsung sejak sistem tanam paksa, pada dasarnya telah menjadi pintu masuknya peredaran uang ke daerah pedesaan secara luas, yang besar pengaruhnya dalam membawa pergeseran perekonomian desa ke arah kehidupan ekonomi pasar.
          Peredaran uang itu masuk antara lain melalui sistem pembayaran upah tanaman kepada petani penanam (plantloon), pembayaran ”uang penggalak tanaman” (cultuurprocenten) kepada para pejabat, pembayaran upah kerja bebas, dan dalam perkembangan terakhir pembayaran sewa tanah pada petani.
3. Kelaparan
            Bahaya kelaparan melanda daerah Jawa Tengah pada tahun 1849 sampai 1850, terutama terjadi di residen Semarang. Pada tahun 1850, residen Semarang penduduknya berkurang 9% sebagai akibat dari kematian dan pengungsian penduduk menuju daerah lain. Sebab yang mendasari terjadinya kelaparan adalah (1) Kesewenang-wenangan pemerintah dan penyalahgunaan para kepala pribumi, (2) Beberapa tanaman pemerintah yang wajib dilaksanakan oleh penduduk seperti kopi, tembakau, tebu, dan nila, (3) Perluasan tanaman nila secara besar-besaran.
          Tanaman nila ini menuntut lebih banyak tenaga pengerjaan serta memberikan upah sedikit dan lebih merugikan jika dibanding dengan tanaman lain. Melihat kenyataan ini, maka pemerintah melakukan penggantian tanaman nila dengan tanaman tebu. Tanaman nila bagi penduduk menimbulkan keberatan besar dan berpengaruh pada harga padi yang sangat mahal. Selain disebabkan oleh pelaksanaan sistem tanam paksa, ada juga sebab lain seperti kegagalan panen, berjangkitnya wabah penyakit dsb.
          Kekurangan bahan makanan secara mengerikan sempat terjadi di Demak dan Grobogan sebagai akibat kegagalan panen karena panen yang ada diserang oleh hama belalang dan berbagai praktek pemerasan, dimana tentang hal ini pihak pemerintah Belanda sendiri tidak pernah memikirkan terhadap akibat-akibat yang mengkhawatirkannya. Di daerah Demak, kesengsaraan terjadi karena terlalu tingginya pemungutan pajak tanah dan pelaksanaan dinas-dinas wajib untuk pembuatan benteng yang terlalu memberatkan.
4. Penyakit
          Penyakit tampaknya juga berhubungan dengan tempat tinggal dan makanan serta minuman atau kebiasan-kebiasaan lain dalam kehidupan sosial budaya orang-orang desa. Di kabupaten Demak, Grobogan, dan Semarang kelaparan menyebabkan banyak kematian. Selama panen gagal dan kelaparan, banyak penduduk-penduduk daerah ini yang menikmati makan hanya sekali sehari ditambah dengan makanan tambahan kecl seperti jagung, singkong, ubi. Oleh karena itu kegagalan panen dan kelaparan di Semarang sering diikuti oleh penyakit. Pengabaian terhadap masalah kebersihan juga menyebabkan penduduk mudah terserang penyakit. Perubahan-perubahan yang terjadi pada tanah-tanah daratan juga mempengaruhi penyakit, khususnya perluasan pekerjaan-pekerjaan irigasi, pembukaan sawah-sawah baru, dan perbaikan komunikasi dan transportasi.
      Menghadapi situasi yang demikian, tidak ada pemecahan atas permasalahan yang timbul ini, selain dengan cara-cara tradisional dan keyakinan. Penduduk di Jawa pada umumnya meyakini dua penyebab utama timbulnya penyakit yakni fisikal dan spiritual. Yang pertama menyangkut penyakit yang timbul dari sebab-sebab nyata seperti sakit perut, luka dsb. Penyakit ini biasanya diobati dengan ramuan obat lokal yang dibuat dari tanaman yang tumbuh di halaman rumah orang desa. Sedang yang kedua, disebabkan oleh kekuatan supranatural seperti ilmu hitam. Dalam hal ini pasien dibawa ke dukun untuk mendapat pertolongan.
      Kebijakan kesehatan pemerintah Belanda di Jawa abad ke-19 hanya berorientasi kepada orang Eropa dan kolonial. Penekanan dan pelayanan kesehatan lebih ditujukan untuk melindungi kesehatan orang-orang Eropa, baik sipil maupun militer daripada untuk penduduk pribumi. Fasilitas-fasilitas kesehatan lebih banyak dikonsentrasikan di kota-kota pusat administratif Belanda seperti Batavia, Semarang dan Surabaya. Penduduk di luar kota berada di luar kepentingan dan bahkan pelayanan pengobatan untuk pribumi pun sangat terbatas, karena halangan warna kulit dan biaya.
5. Teknologi Baru
           Secara tidak langsung pelaksanaan sistem tanam paksa, pada dasarnya telah mengenalkan teknologi baru, terutama dalam pengenalan biji-biji tanaman perdagangan, seperti tebu, indigo dan tembakau, beserta cara penanamannya, meskipun pengenalan teknologi pertanian baru yang terjadi pada masa itu belum dapat merangsang perubahan dan pertumbuhan perekonomian rakyat pedesaan pada umumnya.
Simpulan
         Sistem tanam paksa dilatarbelakangi oleh kondisi keuangan Belanda yang mengalami kebangkrutan akibat biaya yang tinggi biaya yang tinggi dalam berbagai peperangan, baik yang terjadi di negeri Belanda sendiri, seperti perang Napoleon dan perang Belgia maupun yang terjadi di Hindia Belanda seperti perang Diponegoro dan Perang Paderi. Kondsi perdagangan dan industri perkapalan Belanda mengalami kemunduran setelah hancurnya VOC. Keseluruhan proses tersebut membuat Belanda harus menetapkan kebijakan politik dan ekonomi yang dikenal dengan sistem Cultuurstelsel (Sistem Tanam Paksa) yang diperkenalkan oleh Van De Bosch.
           Dampak sistem tanam paksa bagi Belanda sangat menguntungkan, karena selain dapat memberi hasil bagi pemerintah, juga dapat memajukan perdagangan dan pelayaran Belanda. Sebaliknya, bagi masyarakat pedesaan, sistem tanam paksa telah menyebabkan pergeseran pola pemilikan dan penguasaan tanah, pengerahan tenaga kerja secara besar-besaran, kelaparan, penyakit, yang kesemuanya menyebabkan penurunan jumlah penduduk. Di lain pihak, sistem tanam paksa ternyata telah mengenalkan sistem ekonomi uang dan jenis-jenis tanaman baru serta cara penanamannya.
*Guntur Arie Wibowo adalah Dosen Pendidikan Sejarah Universitas Samudra.
DAFTAR PUSTAKA
Moedjanto G. 1988. Indonesia Abad ke-20 (jilid I) : Dari Kebangkitan Nasional Sampai Linggarjati. Yogyakarta : Kanisius.
Mubyarto, dkk. 1992. Tanah dan Tenaga Kerja. Jakarta : Bentang.
Mulyoto. 1999. C.S Sejarah Indonesia Madya. Surakarta : UNS Press.
Noer Fauzi. 1999. Petani dan Penguasa. Bandung : Insist.
Sartono Kartodidrjo & Djoko Suryo. 1991. Sejarah Perkebunan Di Indonesia : Kajian Sosial Ekonomi. Yogyakarta : Aditya Media.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar